(Tanpa) Jurnalisme, (Tanpa) Demokrasi

Bagikan:

Opini oleh: Masduki, Guru Besar Media dan Jurnalisme dan Kepala Pusat Studi Agama dan Demokrasi UII

Terbit di Kompas, 17 Mei 2025

 

Musim gugur media pers sekaligus cerminan bahwa demokrasi informasi kita sedang sekarat akibat nirjurnalisme.

 

Judul artikel ini terinspirasi judul buku yang ditulis Victor Pickard (2019), yaitu Democracy Without Journalism. Namun, jika Pickard merujuk disinformasi sebagai penyakit yang menegasi jurnalisme, di Indonesia situasinya lebih kompleks: krisis perusahaan media. Indikasinya: pemutusan hubungan kerja jurnalis oleh media berita hingga penghentian operasional media. Fenomena ini secara makro berdampak pada democracy disconnected (Anciano dan Piper, 2019) yang dipicu krisis informasi berkualitas. Bagaimana kita harus memahami hal ini dan apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya?

 

Bertepatan dengan dua momentum penting pada Mei ini, yaitu Hari Buruh 1 Mei 2025 dan Hari Kebebasan Pers Sedunia 3 Mei 2025, muncul gelombang PHK ratusan jurnalis dari berbagai media nasional menyebar luas ke media sosial. Di media cetak, televisi maupun media internet, fenomenanya sama. Nyaris serentak. Tak ada yang kebal dari ”pandemi” krisis kue iklan komersial yang bermigrasi ke platform digital: Google dan Meta.

 

Meminjam Alan Rusbridger (2018), terjadi the rise of breaking news and the fall of investigative journalism. Nah, apakah penyebabnya hanya tunggal, yaitu merosotnya kue iklan akibat disrupsi digital? Pers, pemerintah, platform digital, rentetan peristiwa PHK, dan penutupan media dengan produk jurnalisme mendalam sejak dua dekade terakhir tidak berdiri sendiri. Ada tiga pihak yang menjadi sumber masalah, sekaligus menjadi sumber solusi atas persoalan terkini. Pertama, pelaku bisnis pers yang selama tiga dekade ”manja” dengan model bisnis konvensional: mengandalkan iklan komersial dan dana iklan pemerintah.

 

Meminjam Pickard, mereka yang kini menuai badai terlambat merespons disrupsi digital dengan melakukan inovasi model bisnis. Engagement dengan konsumen tidak dibangun, suatu pola kerja yang khas media digital. Jurnalisme di Indonesia masih merupakan fenomena kaum elite, bukan warga biasa seperti di platform digital.

 

Lebih jauh, ekosistem bisnis pers di Indonesia tak sehat karena terpolarisasi antara perusahaan berskala besar (terutama ada di Jakarta dan hegemonik, terus mengalami politisasi) versus perusahaan berskala kecil alias UMKM media yang marginal. Aksi media pers partisan selama tiga kali pemilihan presiden secara langsung juga berkontribusi bagi krisis public trust, membuat jarak sosial dan emosional dengan publik.

 

Kedua, selaras dengan iklim polarisasi, pemerintah memberlakukan kebijakan free market yang membiarkan pers besar dan pers kecil bertarung. Kini keduanya juga menghadapi platform digital tanpa ada proteksi. Bisnis yang mengandalkan konten untuk pencerdasan publik diposisikan sama dengan bisnis produk konsumsi umum, hidup matinya diserahkan ke mekanisme pasar.

 

Suatu peta jalan untuk merawat quality media and journalism, yang berakar pada paradigma berita sebagai public good tidak tersedia. Ironisnya, pemerintahan Prabowo mengutamakan makan bergizi gratis (MBG), alias menyasar kebutuhan perut bukan literasi berita bagi generasi milenial yang memberi asupan otak mereka.

 

Ketiga, platform digital berskala global seperti Google, Tiktok, Facebook, Youtube telah menjelma menjadi jendela informasi utama publik. Survei Reuters Institute of Journalism sejak tahun 2020 hingga 2025 mencatat peningkatan penetrasi platform atas segmen khalayak yang selama ini dikuasai media berita lokal, yang diikuti kontrol atas pendapatan iklan komersial dalam beragam bentuknya. Mereka adalah digital lord (Brevini, 2024) yang cenderung monopolistik, menguasai ekosistem bisnis informasi dari hulu ke hilir.

 

Ironisnya pengaturan terkait tata kelola mereka di Indonesia masih sporadis, baik dari sisi kewajiban sharing revenue maupun kewajiban moderasi konten.

 

 

Masa depan jurnalisme

 

Keberlanjutan jurnalisme dapat dilihat dari dua konteks. Pertama, sebagai produk konsumsi publik, ia akan tetap dibutuhkan. Hukum pasar yang terbuka dan liberalisasi yang ditopang revolusi teknologi hanya akan mendorong migrasi layanan berita dari konvensional ke digital.

 

Kedua, sebagai produk pengetahuan untuk publik, jurnalisme mengalami krisis, tertekan oleh represi struktural yang berlapis, baik dari pemimpin politik otoriter, antikritik, maupun dari rezim algoritma digital global yang kian hegemonik.

 

Gelombang PHK—berdasarkan Data Dewan Pers mencapai 1.200 karyawan selama 2023-2024—dan penghentian operasional media berita yang usianya rata rata 20-30 tahun adalah national warning yang harus bermuara pada konsolidasi komunitas pers, dan aksi nyata dari pemerintah melalui tiga matra regulator: Komdigi, Dewan Pers, dan Komite tanggung jawab platform digital.

 

Merujuk survei terbaru Reporters Without Borders (2025) menyebut krisis ekonomi media menjadi penyebab utama turunnya angka kebebasan pers di berbagai negara, termasuk Indonesia. Tidak hanya soal PHK, tetapi juga konsentrasi kepemilikan media pada kelompok elite dan monopoli lini bisnis digital oleh platform.

 

Beranjak dari paradigma bahwa berita yang berkualitas sebagai cultural good, maka upaya penyelamatan harus dilakukan secara kolektif, tidak parsial pada dimensi tertentu. Kerangka global terkait media sustainability dapat diadopsi dengan membuat kebijakan paralel yang menyentuh persoalan krisis ekonomi dan krisis politik editorial jurnalisme sekaligus.

 

Model trusted media fund (dana publik untuk jurnalisme berkualitas) mendesak didirikan, terutama untuk menyelamatkan para jurnalis dan media investigator yang—meminjam Alan Rusbridger—menjalankan tugas paling berat, yaitu speaking truth to power.

 

Musim gugur media pers, disertai penurunan volume berita berkualitas yang memuncak akhir-akhir ini adalah fenomena gunung es, refleksi dari kebijakan yang salah terhadap pers pascareformasi: sekadar memindah pendulum kontrol pemerintah ke pasar terbuka, menempatkan berita sebagai produk bisnis, bukan produk budaya, instrumen demokrasi. Ia sekaligus cerminan bahwa demokrasi informasi kita sedang sekarat akibat nirjurnalisme.