Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Dengan Hormat,
Rekan Jurnalis Media
Di-Indonesia
Pusat Studi Agama dan Demokrasi UII telah melakukan kegiatan diskusi online #7 dengan tema RUU Perampasan Aset; Peluang dan Tantangan. Diskusi ini diselenggarakan pasca bergulirnya kembali isu pengesahan RUU Perampasan Aset, yang saat ini diinisasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai salah satu bagian dari tuntutan masyarakat.
Selama diskusi, kami mencatat beberapa poin berikut ini:
- Ada beberapa hal yang belum masuk dalam pengaturan korupsi di Indonsia yang itu sudah tercatat danan United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) tahun 2003, yaitu tentang Tindak Pidana Memperkaya Diri Sendiri secara Tidak Sah. Dari sinilah timbul usulan tentang perampasan aset, terhadap keberadaan harta kekayaan yang tidak wajar pada seorang pejabat.
- RUU perampasan Aset sudah dibicarakan sejak periode Presiden SBY, namun baru masuk Prolegnas di tahun 2023. Namun belum pernah menjadi pembicaraan yang serius di level pemerintah dan pembentuk undang-undang. Tahun 2024 kembali masuk dalam Prolegnas usulan pemerintah, namun juga masih belum sempat di bahas. Tahun 2025 sebetulnya tidak masuk dalam Prolegnas, namun karena peristiwa 17+8 akhirnya dipertengahan tahun ini, kembali muncul untuk diusulkan namun menjadi inisiasi DPR.
- Secara substansial, RUU Perampasan aset tidak akan didasarkan pada pemidanaan. Artinya, pelaku tidak perlu dipidana terlebih dahulu seperti yang selama ini berlaku di Indonesia. RUU Perampasan Aset tidak menggantungkan pada proses pidana. Ini yang selama ini menjadi debat publik, karena belum membaca secara utuh substansi dalam RUU Perampasan Aset.
- Perampasan aset yang diduga merupakan hasil kejahatan, sejatinya bukanlah hal yang baru sama sekali karena memang sudah diatur dalam KUHAP yang lama. Roh dari RUU Perampasan aset ini adalah kekayaan yang tidak wajar pada seorang pejabat negara, yang dapat diproses tanpa ada pemidanaan terhadap pelaku terlebih dahulu.
- Perampasan aset juga terutama dilakukan bagi terdakwa yang meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya. Jadi, meskipun seseorang meninggal dunia, perampasan aset tetap dilakukan. Selama ini, jika menggunakan ketentuan konvensional, proses pidana tidak dapat dilanjutkan. Begitupun pemblokiran dapat dilakukan setelah mendapatkan izin pemblokiran dari Pengadilan Negeri.
- Bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan atas perampasan aset, maka RUU mengatur juga ruang bagi pihak yang merasa keberatan atas putusan perampasan aset. Artinya, tidak serta merta akan dirampas begitu saja tanpa adanya upaya hukum yang lebih lanjut.
- Dari aspek penamaan, sejatinya perampasan aset hanyalah salah satu saja dari proses panjang terkait dengan aset negara. Maka akan lebih baik jika yang digunakan adalah pemulihan aset, sebagai tujuan akhir dari agenda perampasan, yaitu pemulihan aset negara.
- Dari aspek teoritik dan praktik, memang upaya perampasan aset memang harus dilakukan diluar proses pidana. Dalam praktik hal ini memang sudah dilakukan, misalnya dalam konteks administrasi, ada kewenangan petugas imigrasi untuk merampas aset orang yang membawa uang melebihi dari standar tertentu. Jadi konteks RUU ini adalah perampasan tanpa ada proses pidana.
- Dari aspek kewenangan, perdebatannya adalah siapakah yang berwenang melakukan perampasan aset tanpa pemidanaan, karena tidak hanya sampai ke level perampasan, malainkan juga akan melakukan pengelolaan aset secara keseluruhan. Mulai dari pengelolaan, sampai pada penjagaan agar tidak rusak. Pada level ini perlu ada pihak lain secara profesional yang terlibat dan diatur di dalam UU ini. Harus ada lembaga yang secara profesional dan terpercaya yang melakukan pengelolaan terhadap aset ini, tidak meletakkan sepenuhnya pada kewenangan Kejaksaan.
Terhadap beberapa catatan di atas, PSAD UII menyatakan perlu sejumlah langkah strategis yang akan menjadi agenda tindak lanjut bagi berbagai pihak:
- Mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah untuk dengan serius merancang, membahas, dan mengesahkan RUU Perampasan Aset, tidak hanya sekedar menjadi gimmick sebagai respon reaktif atas tuntutan masyarakat.
- Proses pembahasan RUU Perampasan Aset sampai hari ini masih sangat elitis dan tertutup. Perlu ada ruang yang lebih besar untuk melibatkan publik membicarakan hal-hal substantif dalam pembentukan RUU atau meaningfull participation. Representasi yang memadai ini sekaligus menjadi legitimasi “pembatasan hak” yang menjadi isu terpenting dalam RUU Perampasan Aset.
- Perlu ada pengaturan didalam RUU Perampasan Aset, bahwa proses hukum dalam semua rangkaian perampasan aset harus dibuka kepada publik dan dilakukan secara transparan. Hal ini agar publik betul-betul dapat mengawasi segala proses perampasa aset pada saatnya nanti.
- RUU Perampasan Aset, pada sisi yang lain berpotensi melanggar hak asasi manusia. Namun karena secara faktual dibutuhkan mekanisme perampasan aset tanpa proses pidana, maka perlu ada pengaturan atau skema yang fair di dalam RUU untuk menjaga agar hak asasi manusia tidak dilanggar.
- RUU Perampasan Aset menuntut adanya penguatan kapasitas dan integritas penegak hukum, terutama lembaga yang akan terlibat dalam Perampasan Aset pada saatnya nanti. Oleh karena itu, agar Perampasan Aset tidak dimanfaatkan untuk kepentingan oknum tertentu terutama untuk memeras pihak lain yang asetnya diduga akan dirampas oleh negara, perlu ada penguatan kapasitas aparat penegak hukum.
Diluar itu semua, satu hal yang paling penting adalah pelibatan publik terhadap semua proses pembahasan RUU Perampasan aset, agar publik memahami substansi dan arah dari RUU.
PSAD menegaskan bahwa dalam negara yang demokrasinya sehat, pelibatan rakyat dalam pembentukan undang-undang adalah syarat utama legitimasi sebuah undang-undang.
Rabu, 24 September 2025
Mewakili PSAD UII
CP: Despan Heryansyah, Peneliti PSAD dan Dosen Fakultas Hukum UII (0819-9715-1513)