Salah Konsep “Judicial Review”

Bagikan:

Opini oleh: Despan Heryansyah, Sekretaris PSAD UII

Terbit di Kompas, 2 September 2024

 

Apa yang terjadi belakangan ini, utamanya polemik terkait Putusan Nomor 23/P/HUM/2024 oleh Mahkamah Konstitusi tentang Syarat Usia Calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah, memang tidak lepas dari arogansi pemerintahan Jokowi untuk terus memuluskan agenda mempertahankan kekuasaan diri dan keluarganya. Lalu bertemu dengan partai politik yang lemah idealisme sekaligus ideologi, sehingga dengan mudah membebek loyal, baik berbasis insentif maupun penyanderaan. Mengingat lakon politik penguasa selama ini, memang tidak sulit untuk menyimpulkan partai politik yang membebek itu tidak bisa berbuat banyak, baik karena telah menikmati insentif kuasa atau uang yang besar, maupun karena tersandera oleh rekam jejak pelanggaran hukum masa lalu. Constitutional disobedience yang dilakukan oleh DPR dengan tetap memaksakan penghitungan syarat usia minimal dan ambang batas suara partai pengusung calon kepala daerah adalah puncak dari loyalitas buta itu.

 

Namun, jangan pula dilupakan, bahwa ada peran Mahkamah Agung yang ikut berkontribusi sehingga menimbulkan kekacauan seperti saat ini. Kita masih ingat, polemik batas usia calon kepala dan wakil kepada daerah bermula dari keluarnya Putusan Mahkamah Agung No.23 P/HUM/2024 yang menentukan syarat usia calon kepala dan wakil kepala daerah adalah terhitung sejak masa pelantikan kepala daerah terpilih, bukan pada saat penetapan calon oleh KPU. Dengan pertimbangan yang seadanya dan argumentasi yang dangkal, Mahkamah Agung membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020. Putusan ini melahirkan penolakan yang cukup luas, namun tidak banyak yang dapat dilakukan publik karena Putusan MA bersifat final and binding sama halnya dengan Putusan MK. Artinya, Mahkamah Agung pun ikut bertanggung jawab atau kekacuan, demo besar-besaran, dan ketidakjelasan pemilihan kepala daerah yang saat ini terjadi.

 

Salah Konsep Judicial Review

 

Tulisan ini ingin memberikan refleksi atas munculnya Putusan Mahkamah Agung dan Putusan Mahkamah Konstitusi yang nampaknya bertentangan dan menagasikan satu sama lain. Putusan MA membatalkan Peraturan KPU yang sebelumnya mengatur batas usia 30 tahun terhitung sejak penetapan calon oleh KPU, oleh MA ditentukan usia 30 tahun terhitung sejak pelantikan. UU Pilkada yang dijadikan sebagai batu uji PKPU di Mahkamah Agung, lalu diujikan ke Mahkamah Konstitusi. Kemudian MK menegaskan syarat batas usia calon kepala daerah adalah terhitung sejak penetapan calon oleh KPU. Artinya ada perbedaan mendasar antara substansi Putusan MA dan MK, MA menyatakan batas usia dihitung sejak pelantikan, sedangkan MK menyatakan batas usia terhitung sejak penetapan calon oleh KPU. Sebetulnya, itu ini bukan yang pertama kali terjadi, sebelumnya sudah beberapa kali terjadi perbedaan putusan antara MA dan MK, misalnya saja terkait dengan Peninjauan Kembali (PK) yang menurut MK dapat dilakukan berkali-kali, sedangkan menurut MA hanya dapat dilakukan sekali.

 

Situasi ini cukup memprihatinkan, bagaimana mungkin dua lembaga negara yang setara, sama-sama memiliki marwah menegakkan hukum dan keadilan, namun terjebak pada arogansi sektoral kelembagaan. Dalam jangka panjang, tentu saja kondisi ini harus dimitigasi sebaik mungkin, agar tegaknya negara hukum Indonesia tidak direcoki oleh hal-hal yang bersifat teknis belaka. Pertama, dianutnya sistem dua kamar atau dua atap atau dualisme dalam pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review) barangkali dapat dikatan menjadi muara dari permasalahan ini, UUD kita Pasal 24A ayat (1), memang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Sedangkan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur kewenangan MK dalam menguji UU terhadap UUD. Artinya dalam melakukan hal yang serupa, berupa judicial review terhadap peraturan perundang-undangan kita meletakannya pada dua lembaga negara sekaligus. Dengan begitu, maka potensi perbedaan putusan antara MK dan MA memang ada, dan dalam situasi tertentu sangatlah besar.

 

Kedua, jika ditarik jauh ke belakang, mengenai ada dasar argumentasi pemisahan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah MA dan MK ini, tidak ditemukan dasar argumentasi yang cukup kuat. Artinya, ini adalah pilihan politik saja, karena tidak ada ketentuan atau basis teoritik yang mengharuskan pemisahan ataupun penyatu atapan. Namun, dilihat dari aspek implikasinya memang pemisahan dapat memunculkan masalah yang lebih serius jika dilihat dari bagaimana negara hukum Indonesia berjalan. Alasan dangkal lainnya adalah karena sejak sebelum amandemen, memang sudah ditentukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap UU berada di bawah MA, sehingga tetap dilanjutkan. Ketiadaan argumentasi filosofis, teoritik, maupun sosiologis ini, dengan melihat dampak yang hari ini muncul, maka akan jauh lebih baik jika agenda besar ke depan salah satunya adalah menyatu atapkan judicial review di bawah MK.

 

Pertanyaannya adalah mengapa MK, bukan MA? Dari aspek faktual ini karena di MA sendiri, telah terjadi penumpukan kasus kasasi maupun PK, sehingga keberadaan judicial review sejatinya menambah beban kerja hakim MA. Selain itu, dari aspek sejarah, memang menunjukkan pengujian di bawah MK jauh lebih transparan, akuntabel, dan profesional. Sedangkan pengujian di MA, sebagaimana yang selama ini dikeluhkan oleh banyak pihak, bersifat tertutup dan tidak dapat ditebak. Dengan pengalaman yang ada, MK jauh lebih siap mengelola keterbukaan dan aspirasi publik. Ketiga, MA sebaiknya berfokus menyelesaikan kasus faktual, baik perdata, pidana, TUN, maupun militer. Sedangkan MK berfokus pada pengujian norma, agar pembagian tugas menjadi lebih jelas batasannya. Sehingga ke depan, seluruh pengujian peraturan perundang-undangan terhadap peraturan yag lebih tinggi, menjadi kewenangan MK.