PROBLEM PENGGANTIAN HAKIM MAHKAMAH KONSTISTUSI

Bagikan:

Opini oleh: Despan Heryansyah, Dosen Fakultas Hukum dan Sekretaris PSAD UII

Terbit di Jogja Network, 26 Agustus 2025

 

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja menetapkan Inosentius Samsul sebagai hakim MK, menggantikan Arief Hidayat yang sebentar lagi akan memasuki purna tugas. Penetapan ini tidak melalui proses seleksi terbuka, melainkan langsung ditunjuk satu nama untuk mengisi kekosongan hakim MK. Tulisan ini mencoba untuk melihat secara kritis kebijakan tersebut, tentu kait kelindannya dengan bangunan sistem hukum Indonesia secara menyeluruh.

Problem Penunjukan

Pertama, ini bukan kali pertama DPR membuat “blunder” dalam penggantian hakim MK, sebelumnya saat Guntur Hamzah menggantikan Aswanto juga menjadi polemik. Masyarakat sipil beramai-ramai menolak penggantian tersebut dan menjadi catatan buruk sejak sejarah berdirinya MK. Kini, kesalahan tersebut kembali diulangi dengan menunjuk Inosentius Samsul menggantikan Arief Hidayat juga dengan proses yang buruk. Cara-cara buruk semacam ini jika dibiarkan, bukan saja akan berpotensi terus terulang pada masa yang akan datang, melainkan juga bisa saja akan diikuti oleh Presiden dan Mahkamah Agung, yang juga berwenang memilih masing-masing 3 (tiga) orang hakim MK. Oleh karena itu, ke depan akan berbahaya apabila dibiarkan. Kedua, ada kekeliruan memaknai kata “hakim MK diajukan 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat”, DPR menganggap dengan Pasal ini berarti 3 orang hakim MK dipilih DPR dan merupakan perwakilan DPR. Padahal frasa yang digunakan adalah “oleh”, bukan “dari”, maknanya kewenangan DPR hanyalah dalam aspek prosedur semata untuk mengajukan 3 nama hakim MK, tidak berarti menjadi seolah-olah utusan DPR. Ketiga, secara jelas dan terang penunjukkan ini melanggar UU Mahkamah Konstitusi, Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 mengamanatkan seleksi Hakim Mahkamah Konstitusi diselenggarakan dengan objektif, akuntabel, dan transparan. Penetapan Inosentius Samsul sebagai hakim MK menggantikan Arief Hidayat jelas saja bukan seleksi, karena dia ditunjuk langsung secara tunggal, tidak ada proses yang dilewati. Berkelindan dengan itu, juga telah melanggar asas objektif, akuntabel, dan transparan karena punjukkan jelas saja dilakukan berdasarkan subjektivitas penunjuknya yang dilakukan secara tertutup. Pelanggaran ini serius karena mengusik langsung aspek prosedural formal pengambilan kebijakan negara. Lebih jauh, kebijakan ini menagasikan hak atas kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan publik dan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan sebagaimana dijamin di dalam Pasal 28, dan Pasal 28A-28J UUD NRI Tahun 1945.

Ketiga, poin yang paling krusial adalah konflik kepentingan Inosentius Samsul dalam menjalankan tugasnya sebagai Hakim MK kelak. Inosentius Samsul adalah birokrat murni yang setidaknya sudah 20 tahun bekerja di DPR sebagai Ketua Badan Perancangan Perundang-undangan hingga Kepala Badan Keahlian DPR. Artinya, Inosentius Samsul adalah orang yang terlibat langsung dalam pembentukan UU selama 20 tahun belakangan. Sedangkan di MK, ia akan menguji UU terhadap UUD, yang sangat besar kemungkinan UU yang akan ia uji adalah UU yang pernah dibuatnya sendiri pada saat masih bekerja di DPR. Dalam etika dan norma internasional sebagaimana dimuat di Banglore Prinsiple, Inosentius Samsul telah memiliki konflik kepentingan yang sangat serius, sehingga tidak layak terlibat menguji sebuah UU.

Apa yang Harus Dilakukan?

Apa yang mungkin di lakukan ke depan? Tentu saja Surat Keputusan pengangkatan Inosentius Samsul dapat dipersoalkan ke PTUN, karena telah cukup syarat materil maupun formil. Namun. Diluar itu, sejatinya yang paling penting adalah Inosentius Samsul dengan lapang dada dan kebesaran hati, bahwa penunjukkannya telah melalui prosedur yang cacat, dan lebih jauh tugas dan fungsinya kelak akan mengalami konflik kepentingan. Namun, cara ini memang tidaklah mudah, dibutuhkan jiwa “negarawan” untuk berani melakukannya. Pertanyaannya, berani kah?