Studi Agama dan Demokrasi di UII

Bagikan:

Artikel oleh: Masduki, Kepala Pusat Studi Agama dan Demokrasi UII

Terbit di UII News, 23 Mei 2024

 

Adalah buku Ahmed T. Kuru tentang Islam, otoriterisme dan ketertinggalan (2020) menjadi viral tahun 2023 karena pendekatan historis-komparatif yang kuat. Kuru menyebut fenomena politik otokrasi di negara-negara mayoritas berpenduduk muslim yang menguat kembali pasca Arab Spring (2011), tradisi klasik ulama dan umara yang berselingkuh sejak era Andalusia demi kekuasaan jadi penyebab kemunduran demokrasi. Buku Kuru memantik banyak diskusi di Indonesia, untuk melihat keselarasan dan distingsi. Fenomena Pilpres 2024 yang menempatkan sejumlah tokoh muslim, pendakwah, ormas besar Nahdlatul Ulama pada posisi ’pragmatis’ seakan mengafirmasi tesis Kuru. Argumen Kuru juga memantik ilmuwan di Indonesia, termasuk UII untuk mereplikasi, dikritik, direkonstruksi mengingat Kuru tidak secara khusus memasukkan Indonesia sebagai wilayah risetnya.

Dari 50 lebih negara dengan penduduk mayoritas muslim, tertinggi masih menganut sistem politik otoriter. Sisanya menganut demokrasi secara prosedural, termasuk Indonesia. Indikator demokrasi yang dibuat Economic Intelligence Unit (EIU) menempatkan Indonesia di urusan ke 52 dengan status flawed democracy. Salah satu rating yang rendah adalah budaya demokrasi, partisipasi politik warga negara yang buruk yang dipicu oleh disinformasi dan politik pragmatis sembako. Dari empat pilar demokrasi yang sehat: pemilu yang bersih, check and balances oleh parliament ke eksekutif, civil liberties, partisipasi warga negara, maka partisipasi menjadi kunci. Termasuk partisipasi kritis warga muslim.

Dalam Pilpres 2024, mengacu Jurgen Habermas terkait deliberative democracy and rational participation, kita menyaksikan: Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim masih berkutat pada politik yang mengandalkan popularitas, bukan kompetensi dan kualitas. Gagasan John Morrison menggeser pola kepemiluan from representation (agregate) to participation (deliberative) dihadang oleh personalisasi politik, politainment seperti gemoy dan aksi joget yang mendominasi ruang informal public opinion. Informal politics menjadi ranah utama Pilpres 2024 di media sosial, telah memicu kecepatan percakapan politik dengan tensi tinggi tetapi minim verifikasi, melahirkan uninformed voters.

Dalam konteks ini, kita perlu mengapresiasi sebuah buku berjudul: Islam di Indonesia 2024 yang diluncurkan oleh Embun Kalimasada, lembaga kajian kebudayaan milik Yayasan Badan Wakaf UII, Senin 20 Mei 2024. Mengapa? Penerbitan buku akademik berarti upaya produksi pengetahuan, suatu ’kerja sunyi’, yang menghindari gejala global termasuk di Indonesia: toxic university. Istilah ini merujuk artikel: Toxic university, Zombie leadership, Academic rock star and Neoliberal ideology (John Smith, 2017). Menulis buku, artikel dan sejenisnya bukan semata memenuhi tugas administratif kinerja dosen (BKD), akan tetapi bagian dari upaya merespon isu sosial di luar dinding kampus.

Buku baru yang dirilis para pegiat Embun Kalimasada tersebut terhubung dengan tesis Kuru terkait bagaimana konstruksi relasi Islam dan negara. Masing-masing penulis mencoba berbicara mengacu bidang ilmu yang digeluti, namun dalam bingkai besar mengurai kembali relasi Islam dan Indonesia, khususnya Islam, Demokrasi dan Indonesia dalam tahun politik 2024. Sebuah bingkai besar yang sedang mendapat perhatian akademik nasional dan global. Pendekatan deskriptif eskplanatif, konteks kekinian mengemuka, menonjol, dan tantangan ke depannya, mencoba metode historis-komparatif versi Kuru. Lebih jauh, civitas akademika UII perlu menjadikan publikasi buku hasil riset di UII sebagai sumber advokasi kebijakan untuk perubahan struktur politik-ekonomi, selain bahan ajar di kelas.

Dalam konteks lembaga Embun Kalimasada yang berlokasi di UII Cik Ditiro, penting membangun ’epistemic community’ intelektual di UII (jejaring yang dijalin oleh kesamaan kepedulian akademik dan sosial, diikat oleh nilai-nilai luhur keilmuan. Potret idealnya adalah Mazhab Frankfurt di Jerman). Saya melihat, penting kembali mengusung ’Mazhab UII CIK DITIRO’ atau Mazhab Kaliurang dalam gerakan pemikiran keislaman yang pada pasca tahun 2000an memudar. Inisiatif ini sudah dimulai oleh Ketua PYBW sebelumnya, Suwarsono Muhammad ketika menerbitkan buku riset mendalam: Kapitalisme Religius. Pada era transisi ketika Orde Baru akan runtuh tahun 1990-an, sejumlah nama pemikir besar lahir dari UII Cik Ditiro, misalnya Zaini Dahlan, Afan Gaffar, Mahfud MD, dll. Mundur ke belakanga, pendiri UII Dr. Muhammad Hatta dikenal sebagai penggagas koperasi, suatu model terbaik kebijakan demokrasi ekonomi di negara berkembang seperti Indonesia.

Studi Agama (termasuk Islam) dan Demokrasi dengan dualisme pendekatan akademik dan aktivisme diharapkan bergairah kembali, menyusul peluncuran pusat studi Agama dan Demokrasi di UII, 22 Mei 2024. Selain perubahan struktural, nantinya muncul sosok pemikir dan aktivis demokrasi ’T Kuru’ dari rahim UII. Semoga.